ILMU MENUJU KEBAHAGIAAN

PENDIDIKAN

Rabu, 19 Oktober 2011

SHOLAT

Oleh Nurcholish Madjid
 
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab  Suci  dan  Hadits
Nabi,   dapatlah   dikatakan  bahwa  shalat  adalah  kewajiban
peribadatan  (formal)  yang  paling   penting   dalam   sistem
keagamaan  Islam.  Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan  shalat  (iqamat  al-shalah,  yakni  menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum  beriman  adalah  pertama-tama  karena   shalatnya   yang
dilakukan  dengan  penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw.  menegaskan,  "Yang  pertama  kali  akan   diperhitungkan
tentang  seorang  hamba  pada  hari  Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak,  maka
rusak  pulalah  seluruh  amalnya."  [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam  (sikap  pasrah  kepada
Allah),  tiang  penyangganya  shalat,  dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]
 
Karena   demikian   banyaknya   penegasan-penegasan    tentang
pentingnya  shalat  yang  kita  dapatkan  dalam  sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu  sebaik
mungkin.  Berdasarkan  berbagai  penegasan  itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua  bahan  ajaran  dan  tujuan  keagamaan.  Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri  ('ibadah)  kepada  Allah,  Tuhan
Yang   Maha  Esa,  dan  melalui  shalat  itu  kita  memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan  pada  dirinya  sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
 
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
 
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan   dalam  keseluruhan  shalat,  baik  dalam  unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara  Ilmu  Fiqih,  shalat
dirumuskan  sebagai  "Ibadah  kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan  bacaan-bacaan  dan  tindakan-tindakan  tertentu   yang
dibuka  dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan  dan  tertib  tertentu  yang  diterapkan  oleh  agama
Islam." [4]
 
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram),  yang  mengandung  arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala  tindakan  dan  tingkah  laku  yang
tidak  ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu  seakan  suatu  pernyataan  formal
seseorang  membuka  hubungan  diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan  atau  memutuskan  diri  dari  semua
bentuk  hubungan  dengan  sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik  shalat  diisyaratkan
dalam  arti  simbolik  takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri  kepada-Nya.  Jika
disebutkan  bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar  mereka  menghamba  kepada-Nya,   maka   wujud   simbolik
terpenting  penghambaan  itu  ialah  shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan  pernyataan  dimulainya  sikap
menghadap Allah.
 
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah),  yaitu  bacaan
yang  artinya,  "Sesungguhnya  aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh  langit  dan  bumi,  secara
hanif  (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik  dan  Benar  itu),
dan  aku  tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku,  darma
baktiku,  hidupku  dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan,  dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
 
Jadi,  dalam  shalat  itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan  vertikal  dengan  Allah,  dan  tidak   diperkenankan
melakukan  hubungan  horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam  keadaan  terpaksa).  Inilah  ide  dasar  dalam   takbir
pembukaan   sebagai   takbirat  al-ihram.  Karena  itu,  dalam
literatur kesufian  berbahasa  Jawa,  shalat  atau  sembahyang
dipandang  sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang  kematian  adalah  panutan  hubungan  horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan"  tanpa  hubungan  horizotal   seperti   pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
 
Selanjutnya   dia   yang  sedang  melakukan  shalat  hendaknya
menyadari  sedalam-dalamnya  akan  posisinya  sebagai  seorang
makhluk   yang   sedang   menghadap  Khaliknya,  dengan  penuh
keharuan,  kesyahduan  dan  kekhusyukan.  Sedapat  mungkin  ia
menghayati  kehadirannya  di  hadapan  Sang  Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah  melihat  Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai  dengan
makna  ihsan  seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap  Tuhan,  shalat  juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.
 
Dengan  ihsan  itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat  penting  ibaratnya,  yaitu  penginsyafan
diri  akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia  (Allah)  itu  beserta  kamu  di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
 
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia  senantiasa  memelihara
hubungan  dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada  Nabi  Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain  Aku.  Maka
sembahlah  olehmu  akan  Daku,  dan  tegakkanlah  shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat  berarti
kelestarian  hubungan  yang  dekat  dengan  Allah  adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna  terakhir  hidup
di  dunia  ini,  yaitu  bahwa  "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan  kembali  kepada-Nya".  [11]  Maka  dalam
literatur  kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning  hurip"  (Asal  dan  Tujuan  hidup),  bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
 
Keinsyafan  terhadap  Allah  sebagai  tujuan akhir hidup tentu
akan  mendorong  seseorang  untuk  bertindak  dan   berpekerti
sedemikian  rupa  sehingga  ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh  karena  manusia  mengetahui,  baik  secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang  tidak  benar  dan  tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju  Allah  ialah
yang  benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani  (nurani,
bersifat  cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).
 
Tetapi  manusia  adalah  makhluk  yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya  tidak  selalu
mampu  menangkap  kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari.  Sering  kebenaran  itu  tak  nampak
padanya  karena  terhalang  oleh  hawa  nafsu  (hawa  al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan  egois  sebagai
akibat  dikte  dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam  usaha  mencari  dan  menemukan  kebenaran  tersebut
mutlak  diperlukan  ketulusan  hati  dan  keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni,  yang  sanggup  melepaskan  diri  dari
dikte   kecenderungan   diri  sendiri  atau  hawa  nafsu  itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat  seseorang  membaca  surat
al-Fatihah  --yang  merupakan  bacaan  terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama  harus  dihayati
benar-benar  ialah  permohonan  kepada  Allah agar ditunjukkan
jalan yang  lurus  (al-shirath  al-mustaqim).  Permohonan  itu
setelah  didahului  dengan  pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan  kepada  Allah  (basmalah),
diteruskan  dengan  pengakuan  dan  panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam  raya  (hamdalah),  Yang  Maha
Pengasih  (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di  akhirat  kelak  -al-Rahim).
Lalu  dilanjutkan  dengan  pengakuan  terhadap  Allah  sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap  orang  akan  berdiri
mutlak  sebagai  pribadi  di  hadapan-Nya  selaku  Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak  akan  menghamba
kecuali  kepada-Nya  saja  semurni-murninya,  dan  juga  hanya
kepada-Nya saja  kita  memohon  pertolongan  karena  menyadari
bahwa  kita  sendiri  tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.
 
Dalam  peneguhan  hati  bahwa  kita  tidak  menghambakan  diri
kecuali   kepada-Nya   serta   dalam   penegasan  bahwa  hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti  dikatakan
oleh    Ibn   'Atha'   Allah   al-Sakandari,   kita   berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan  ke  arah
jalan  yang  benar.  Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan  hidup  ini  kepada  sesuatu
apapun   selain   Tuhan,  dan  ketulusan  berbentuk  pelepasan
pretensi-pretensi akan  kemampuan  diri  menemukan  kebenaran.
Dengan  kata  lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan  senantiasa  kepada  Allah
bahwa  Dia  akan  mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat  kita
tangkap  dengan  tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang  tidak  dapat  melepaskan  diri  dari
kungkungan  kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan  kecemasan  dan  harapan!  Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi,  di  hadapan  Allah  "nothing  is  taken  for  granted,"
termasuk  perasaan  kita  tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari.  Artinya,  apapun  perasaan,  mungkin
malah  keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk  dipertanyakan  kembali.
Salah  satu  konsekuensi  itu  adalah  "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan  harapan
yang  tanpa  kecemasan  samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang  disebut  sesat  pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.
 
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad  baiknya"
tidak   akan  sampai  kepada  tujuan,  meskipun,  menurut  Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak  peduli  pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.
 
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada  Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang  terkena  murka,
dan  bukan  pula  jalan  mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia  juga
mengisyaratkan  adanya  kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
 
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat  merupakan  kewajiban
"berwaktu"  atas  kaum  beriman.  [14]  Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu  tertentu,  dimulai  dari   dini   hari   (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib)  dan  akhirnya
di  malam  hari  ('Isya).  Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian  saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita  "santai"  sesudah  bekerja  (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam  diri  kita  untuk  mencari  kebenaran  menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan  kealpaan.  Karena  itulah  ada  pesan  Ilahi  agar   kita
menegakkan  semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu  luang  untuk  bekerja  keras
mendekati Tuhan.[16]
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 75071

Tidak ada komentar:

Posting Komentar