AsEr Kadeudeuh Kageugeut
ILMU MENUJU KEBAHAGIAAN
PENDIDIKAN
Minggu, 23 Oktober 2011
Puasa
RISALAH PUASA
Oleh : Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala, kami
memuji, memohon pertolongan dan meminta ampun kepada-Nya; dan kami
berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala dari
kejahatan jiwa kami dan keburukan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala, maka tiada
seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya
maka tiada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa
sesungguhnya tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa
Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan aku
bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Amma ba`du:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala telah
memberikan karunia kepada segenap hamba-Nya berupa musim-musim penuh
kebajikan; pada musim-musim itu kebajikan dilipat gandakan, dosa-dosa
dihapus dan derajat (di sisi-Nya) ditinggikan. Jiwa kaum beriman serentak
menghadap kepada Tuhannya. Maka beruntunglah orang yang mensucikannya
dan sia-sialah orang yang menodainya. Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia hanya agar mereka
semata-mata beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
beribadah kepadaKu.” (Al-Dzariyat: 56).
Di antara sekian ibadah yang sangat mulia yang telah Dia wajibkan
terhadap hamba-hamba-Nya adalah shaum (puasa). Allah Subhanahu wa Ta'ala
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
“… diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala pun memotivasi agar
mereka berpuasa, seraya berfirman:
“Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah:
184)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala menghimbau kepada
mereka semua untuk berterima kasih (bersyukur) kepada-Nya atas
diwajibkannya puasa kepada mereka, seraya berfirman:
“… dan hendaklah kamu mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
Subhanahu wa Ta'ala atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 185)
Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala ? menganjurkan berpuasa
kepada mereka, bahkan menjadikannya ringan bagi mereka agar jiwa mereka
tidak merasa berat dalam meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya dan menjauhi
tradisi-tradisi kesehariannya. Dia berfirman:
“yaitu dalam beberapa hari yang tertentu” (Al-Baqarah: 184).
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala ? berbelas kasih
kepada mereka serta menjauhkan mereka dari kesulitan dan hal yang
memba-hayakan, seraya berfirman:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau sedang di dalam
perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Maka tidaklah mengherankan jika hati kaum mu`minin secara serius
menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha
Penyayang pada bulan Ramadhan ini, dengan punuh rasa takut kepada-Nya lagi
penuh harapan akan pahala dan kemenangan yang agung dari-Nya.
Oleh karena nilai ibadah puasa ini sangat besar, maka setiap muslim wajib
mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan bulan puasa Ramadhan,
agar ia mengeta-hui apa yang wajib untuk ia lakukan dan yang haram untuk ia
hindari serta apa yang mubah hingga dirinya tidak merasa kesulitan dengan
sebab meninggalkannya.
Buku kecil ini memuat ringkasan atau intisari hukum-hukum berpuasa,
etika dan sunnah-sunnahnya, penulis menulisnya secara singkat dengan
harapan semoga ber-manfa`at bagi saudara-saudaraku kaum muslimin. Dan
segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala Tuhan
sekalian alam.
Definisi Puasa
1. Shaum (puasa) secara bahasa bermakna imsâk (menahan); dan secara
syar`i bermakna: Menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan
mulai terbitnya fajar shubuh hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan
niat.
Hukum Puasa
2. Segenap umat Islam sepakat bahwa puasa di bulan Ramadhan itu fardhu
(wajib). Dalil dari Al-Qur'an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
Subhanahu wa Ta'ala ?:
“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.”
(Al-Baqarah: 183)
Dalil dari hadits (sunnah) adalah sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa
Sallam ?:
“Islam dibangun di atas lima perkara. –disebutkan di antaranya: puasa
bulan Ramadhan.”(1)(HR. Al-Bukhari).
Barangsiapa yang tidak berpuasa (ifthar) sekalipun satu hari di siang
Ramadhan tanpa udzur (alasan yang dibenarkan syara`) maka ia telah
melakukan satu dosa besar. Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? telah
bersabda tentang mimpi yang pernah ia saksikan:
“Sampai ketika aku berada di tengah gunung, seketika suara-suara keras.
Maka aku bertanya: Suara apa ini? Mereka menjawab: Ini adalah teriakan
penghuni neraka. Kemudian dia (Jibril) membawaku pergi, seketika aku
berada di hadapan suatu kaum yang digantung dengan kaki di atas dengan
sudut mulut terkoyak, dari sudut mulut mereka bercucuran darah. Maka
aku bertanya: “Siapa mereka?” Jibril menjawab: “Mereka adalah
orang-orang yang berbuka puasa sebelum sampai waktunya.” (2) (Shahihut
Targhib wat Tarhib: 1/420)
Al-Hafizh Adz-Dzahabi t berkata: Sudah menjadi ketetapan bagi kaum
muslimin, bahwa barangsiapa yang meninggalkan puasa tanpa udzur (syar`i)
maka ia lebih buruk dari pada pezina dan pecandu khamar, bahkan mereka
meragukan keislamannya dan menganggapnya zindiq dan menyimpang dari
agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Apabila (seseorang) tidak puasa di
bulan Ramadhan karena meng-anggap halal (meninggalkannya), karena
perbuatannya itu maka ia wajib dibunuh, dan bila ia orang fasiq maka harus
dihukum karena berbuka di siang hari bulan Ramadhan.(3) (Majmu` Fatawa:
25/265)
Keutamaan Puasa
3. Keutamaan puasa itu sangat besar. Di antara hadits shahih yang
menerangkan keutamaannya adalah bahwasa-nya puasa telah dikhususkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala bagi diri-Nya, dan bahwasanya
Dialah yang langsung memberikan pahalanya, dengan melipatgandakan
pahalanya untuk orang yang berpuasa dengan tanpa batas. Hadits
menyebutkan:
“Kecuali puasa, karena puasa adalah milik (bagi)-Ku dan Aku yang
memberikan pahalanya.” (4) (HR. Al-Bukhari).
Dan sesungguhnya puasa itu tiada tandingannya(5), do`a orang yang
berpuasa tidak ditolak(6), orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan,
yaitu apabila ia berbuka puasa ia gembira karenanya, dan apabila ia bertemu
dengan Tuhannya ia bahagia karena puasanya(7), puasa dapat memberikan
syafa`at pada hari Kiamat kepada orang yang berpuasa, dimana ia akan
berkata: “Wahai Rabb-ku, aku telah menghindarkannya dari makanan dan
syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberikan syafa`at kepadanya”,(8)
dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah
Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala daripada harumnya minyak
kasturi,(9) puasa adalah perisai dan benteng yang paling kuat (yang mencegah)
dari api neraka(10), dan barangsiapa yang berpuasa satu hari fisabilillah niscaya
Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala menjauhkan mukanya dari api
neraka sejauh tujuh puluh tahun(11), dan barangsiapa berpuasa satu hari karena
semata mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala
dan ia mati dalam keadaan puasa, niscaya masuk surga(12), di surga itu ada
pintu yang disebut Rayyan, darinya orang-orang yang berpuasa masuk (surga)
dan tidak seorang pun masuk lewat pintu itu selain mereka.(13)
Sesungguhnya Ramadhan merupakan pilar (rukun) Islam, Al-Qur'an
diturunkan di dalam bulan ini dan pada bulan ini pula terdapat Lailatul Qadar
yang lebih baik dari pada seribu bulan. Apabila bulan Ramadhan tiba pintu-pintu
surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.(14) Puasa
di bulan Ramadhan sama dengan puasa sepuluh bulan penuh.(15)
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan
pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala, niscaya
dosa-dosanya yang telah lalu diampuni(16), dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
Subhanahu wa Ta'ala mempunyai banyak orang-orang yang dibebaskan (dari
neraka) pada setiap berbuka.(17)
Faedah Puasa
4. Puasa mengandung banyak hikmah dan faedah yang berkisar pada
ketaqwaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa
Ta'ala ? di dalam firman-Nya: “agar kamu bertaqwa.”
Penjelasannya adalah: Sesungguhnya apabila nafsu dapat menahan dirinya
dari perbuatan halal karena mendam-bakan keridhaan Allah Subhanahu wa
Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala ? dan takut hukuman-Nya, maka sudah pasti
tunduk untuk menahan diri dari yang haram.
1. Sesungguhnya apabila perut seseorang lapar, maka rasa lapar indra yang
lain terhalangi, dan apabila perutnya kenyang, maka akan laparlah lisan,
mata, tangan dan kemaluannya (nafsu seksnya). Jadi, puasa itu dapat
mematahkan rongrongan setan dan melumpuhkan syah-wat dan menjaga
anggota tubuh.
2. Sesungguhnya apabila orang yang berpuasa itu merasakan penderitaan
lapar, maka ia akan merasakan pula penderitaan orang-orang fakir, maka
timbullah rasa belas kasih dan uluran tangan untuk menutup kebutuhan
mereka; karena sebagaimana pepatah mengatakan: “Berita itu tidak seperti
dengan apa yang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri” dan “orang yang
naik kendaraan itu tidak akan mengetahui sengsaranya pejalan kaki kecuali
apabila ia jalan kaki.”
Sesungguhnya puasa dapat mendidik dan menumbuhkan kemauan
menghindarkan dari hawa nafsu dan jauh dari kemaksiatan, karena di waktu
berpuasa kita dapat memaksa tabi`at kita dan menyapih nafsu dari
kebiasaan-kebiasaannya.
Puasa juga membiasakan kita berdisiplin dan tepat waktu, yang mampu
menanggulangi keteledoran banyak orang jikalau mereka berakal.
Puasa juga menampakkan prinsip kesatuan kaum muslimin, dimana segenap
umat berpuasa dan berhari raya bersama pada bulan yang sama.
Di dalam berpuasa juga terdapat kesempatan yang sangat berharga bagi para
da`i untuk menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu
wa Ta'ala ?, dimana pada bulan ini hati mereka cenderung ke mesjid-mesjid.
Di antara mereka ada yang masuk masjid merupakan yang pertama kali, dan
ada pula yang sudah lama tidak masuk masjid; mereka sedang berada di
dalam suatu kerinduan yang sangat jarang terjadi. Maka momentum ini harus
digunakan sebaik-baiknya oleh para da`i untuk memberikan nasihat-nasihat
yang menyentuh hati mereka dan menyampaikan materi-materi yang sesuai
serta ceramah-ceramah yang bermanfaat yang disertai dengan
tolong-menolong di dalam kebajikan dan ketaqwaan. Namun, hendaknya da`i
jangan terlalu disibukkan mengurusi orang lain hingga lupa dirinya sendiri
hingga seperti lilin, menerangi orang dan membiarkan dirinya terbakar.
Etika Berpuasa
5. Di antara Etika puasa itu ada yang wajib dan ada pula yang sunnah, yang
di antaranya adalah:
• Berupaya sedapat mungkun untuk sahur dan menun-danya hingga di
pengujung waktunya. Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? bersabda:
1“Makan sahurlah kamu, karena sahur itu meng-andung berkah.”(18)
2Jadi, sahur adalah makanan yang penuh dengan berkah dan sekaligus
menyalahi kebiasaan Ahlul Kitab. Dan sebaik-baik makanan sahur adalah
kurma.(19)
• Segera berbuka (bila telah sampai waktunya), karena Rasulullah Shallallaahu
Alaihi wa Sallam ? bersabda:
“Orang-orang akan masih mendapat kebajikan selagi mereka segera
berbuka.”(20)
Dan ifthar (berbuka) dengan memakan beberapa buah ruthab (kurma basah)
sebagaimana disebutkan di dalam hadits Anas z ia menuturkan: “Rasulullah
Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? itu biasanya berbuka sebelum melakukan
shalat dengan makan beberapa ruthab, dan jika tidak ada ruthab maka
kurma kering, dan jika tidak ada kurma kering, maka beliau meneguk
beberapa teguk air minum.” (21) Dan sesudah ifthar hendaknya mengucapkan
bacaan seperti yang disebutkan di dalam hadits Ibnu Umar ? bahwa-sanya
Nabi ? apabila telah berbuka mengucapkan:
“Hilanglah dahaga, urat-uratpun menjadi basah dan pahala pun pasti
–insya Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala.”(22)
1. Menghindari rafats, karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ?
bersabda:
1 “… Apabila pada hari seseorang diantara kamu berpuasa, maka janganlah
ia berbuat rafats ….” (23)
2Rafats adalah jatuh di dalam perbuatan maksiat. Nabi ? juga bersabda:
3“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tetap
melakukannya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala
tidak akan menghiraukan orang itu meninggalkan makanan dan
minumannya (berpuasa).”(24)
4Dan hendaklah orang yang berpuasa meninggalkan semua perbuatan
haram, seperti menggunjing, perkataan jorok dan dusta, karena perbuatan
haram tersebut dapat menghapus seluruh pahala puasanya; Rasulullah
Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? telah bersabda:
5 “Betapa banyak orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan apapun dari
puasanya selain rasa lapar belaka.”(25)
1. Dan di antara hal yang dapat menghapus pahala keba-jikan dan
mendatangkan dosa-dosa adalah sibuk dengan nonton perlombaan, film-film
sinetron, pertandingan, nongkrong-nongkrong yang tidak berguna,
mondar-mandir di jalan-jalan bersama-sama rekan-rekan buruk yang suka
menyia-nyiakan waktu, mobil-mobilan, berdesak-desakan di trotoar dan
lorong-lorong, hingga bulan tahajjud, dzikir dan ibadah (baca: bulan puasa)
–bagi kebanyakan orang)- menjadi bulan ngorok (tidur) di siang hari agar
tidak merasa lapar yang menyebabkan terabaikannya shalat wajib dan shalat
berjama`ah; kemudian di malam hari yang ada hanya senda-gurau dan
tengggelam di dalam lembah nafsu syahwat, bahkan sebagian mereka ada
yang menyambut bulan suci Ramadhan dengan keluh-kesah karena akan
kehilangan berbagai kelezatan, dan sebagian lagi ada yang bepergian di bulan
Ramadhan ke negeri orang-orang kafir untuk menikmati liburan panjangnya!!
Dan yang lebih fatal lagi adalah banyaknya kemunkaran terjadi di masjid,
seperti banyaknya wanita yang datang ke masjid dengan tabarruj (perhiasan
dan dandanan kecantikan) dan parfum, bahkan Baitullah pun tidak luput dari
bencana ini. Sebagian di antara mereka ada yang menjadikan bulan suci
Ramadhan sebagai musim untuk berleha-leha, tidak butuh kepadanya; dan
sebagian lagi ada yang bermain dengan sesuatu yang membahayakan seperti
petasan dan kembang api; ada juga yang sibuk bertransaksi di pasar dan
shoping di swalayan dan super market; dan ada pula wanita-wanita yang
sibuk dengan menjahit pakaian dan mengumpulkan berbagai mode pakaian
serta mengolek-sinya pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadhan
yang merupakan hari-hari kemuliaan, hingga membuat banyak orang lalai
dan tidak sempat untuk meraih pahala dan kebajikan.
2. Hendaknya tidak teriak-teriak, karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa
Sallam ? ber-sabda:
1 “Dan jika ada seseorang yang menyerangnya atau memakinya, maka
hendaklah ia (orang sedang berpuasa) mengatakan: Aku sedang berpuasa,
aku sedang berpuasa.”(26)
2Yang pertama (ungkapan: Aku sedang berpuasa) sebagai teguran bagi
dirinya sendiri dan yang kedua sebagai teguran bagi lawannya. Orang yang
memperhatikan kepada moralitas kebanyakan orang-orang yang berpuasa
akan menemukan lawan dari akhlak mulia di atas. Maka wajib (bagi kita)
mengendalikan nafsu dan selalu menja-ga ketenangan. Namun yang anda
lihat adalah sebaliknya, banyak para sopir yang melintas cepat (dengan
mobilnya) di waktu azan Maghrib berkumandang.
1. Tidak terlalu banyak makan, karena hadits mengatakan:
1”Tiada bejana yang dipenuhi oleh manusia yang lebih buruk daripada
perutnya ….”(27)
2Hanyalah orang yang berakal yang makan untuk hidup, bukan hidup untuk
makan, dan sebaik-baik makanan ada-lah yang membantu dan
seburuk-buruknya adalah yang menyibukkan. Betapa banyak manusia yang
tenggelam di dalam pembuatan berbagai macam makanan, hingga menyita
banyak waktu kaum ibu di rumah dan para pembantu sampai membuat
mereka lalai beribadah, bahkan uang yang dihabiskan untuk membeli
bahan-ba-han makanan jauh lebih besar daripada biasanya, dengan demikian
bulan puasa menjadi bulan memupuk lemak dan berbagai penyakit
pencernaan, makan bagaikan orang yang tidak pernah makan dan minum
seperti orang yang tidak pernah minum, lalu apabila bangkit untuk shalat
tarawih kemalasan pun menyelimutinya, sampai ada sebagian mereka yang
meninggalkan shalat tarawih pada raka`at yang pertama.
1. Mendermakan ilmu, harta, kemuliaan, badan dan akhlak. Di dalam Shahih
Al-Bukhari-Muslim diriwayatkan dari Ibnu Abbas z ia berkata: “Rasulullah
Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? itu meru-pakan manusia yang paling
dermawan (dengan kebaikan), dan lebih dermawan lagi apabila dibulan
Ramadhan ketika beliau ditemui oleh Jibril; Jibril biasanya menemui Nabi
pada setiap malam di bulan Ramadhan, di situlah Jibril mentadaruskan
Al-Qur'an kepada beliau. Sungguh, Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ?
lebih dermawan dengan kebaikan daripada angin yang bertiup kencang.”(28)
Memadukan puasa dan memberikan makanan itu merupakan faktor yang
menyebabkan pelakunya masuk surga, sebagaimana disabdakan oleh baginda
Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ?:
1 “Sesungguhnya di surga itu ada kamar-kamar yang luarnya terlihat dari
dalam, dan bagian dalam tampak dari luar, yang disediakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala bagi orang yang memberikan
makanan, memperlembut pembicaraan, menyambung puasa (Ramadhan
dengan puasa enam hari Syawal. pent) dan shalat di malam hari di waktu
manusia sedang istirahat.”(29)
2Dan sabda beliau ?:
3 “Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada seorang yang berpuasa,
maka ia memperoleh sebesar pahalanya dengan tidak berkurang sedikitpun
pahala orang yang berpuasa itu.”(30)
4Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Yang dimaksud memberinya
makanan untuk berbuka puasa adalah sampai orang itu kenyang.”(31) Para
kaum salaf banyak yang lebih mementingkan kaum fakir miskin dari pada diri
mereka sendiri dengan memberikan persediaan buka puasa yang mereka
miliki kepada mereka. Seperti Abdullah bin Umar, Malik bin Dinar, Ahmad bin
Hanbal dan lain-lain. Dan Abdullah bin Umar tidak berbuka puasa kecuali
bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
5Beberapa Hal yang Selayaknya Dikerjakan di Bulan Suci ini
1. Mempersiapkan suasana dan jiwa untuk beribadah, segera bertobat dan
berinabah (kembali) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala,
bergembira karena datangnya bulan Ramadhan, menger-jakan puasa secara
baik, khusyu` di dalam menjalankan shalat tarawih, tidak merasa jenuh pada
sepuluh hari kedua, dan berupaya maksimal untuk mendapatkan Lailatul
Qadar, menamatkan bacaan Al-Qur'an secara berkesinambungan dengan
disertai tangisan dan peng-hayatan, umrah di bulan suci Ramadhan yang
sama pahalanya dengan menunaikan ibadah haji, bersedekah yang
dilipatgandakan pahalanya dan i`tikaf sangat dian-jurkan.
2. Tidak mengapa anda mengucapkan selamat atas datangnya bulan suci
Ramadhan, karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? memberitakan
dengan penuh gembira kepada para shahabatnya akan kedatangan bulan suci
Ramadhan dan menghimbau mereka untuk memeliharanya. Diriwayat-kan
dari Abu Hurairah z ia menuturkan: Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ?
bersabda:
“Telah datang kepada kalian bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh
berkah, Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan
kamu berpuasa Ramadhan, pada bulan ini pintu-pintu langit dibuka dan
pintu-pintu Jahannam ditutup, tangan-tangan setan dibelenggu, dan di
dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan,
maka barangsiapa yang dijauhkan dari kebaikannya, maka benar-benar
telah dijauhkan.”(32)
Beberapa hukum berpuasa
6. Di antara puasa itu ada yang harus dilakukan secara berkesinambungan
(berurutan) seperti puasa bulan Rama-dhan, puasa kafarat (tebusan)
pembunuhan yang tidak disengaja, puasa kafarat zhihar, puasa kafarat
persetubuhan di siang Ramadhan, dan jika seseorang bernadzar akan berpuasa
berurutan.
Adapula puasa yang tidak harus dilakukan dengan berurutan, seperti
meng-qadha' (mengganti) puasa Ramadhan, puasa sepuluh hari bagi orang
yang tidak mampu membayar hadyu, puasa tebusan sumpah (menurut jumhur
ulama), puasa tebusan karena melanggar larangan ihram (menurut pendapat
yang kuat) dan begitu juga puasa nadzar umum bagi orang yang tidak berniat
berurutan.
7. Puasa sunnah itu dapat menutup kekurangan puasa wajib. Sebagai
contoh adalah puasa `Asyura', puasa Arafah, puasa pada hari-hari malam cerah
(tanggal 13,14 dan 15), puasa Senin dan Kamis, puasa 6 hari di bulan Syawal
dan memperbanyak puasa di bulan Muharram dan Sya`ban.
8. Ada larangan mengkhususkan hari Jum`at saja sebagai hari puasa(33)
dan mengkhususkan hari Sabtu saja selain puasa wajib(34). Maksudnya adalah
mengkhususkan hari tersebut tanpa ada sebab. Dilarang pula puasa sepanjang
tahun dan melakukan wishal di dalam berpuasa, yaitu berpuasa dua hari atau
lebih tanpa diselangi dengan berbuka puasa.
Haram hukumnya puasa pada kedua Hari Raya (Fitrah dan Haji) dan puasa
pada hari-hari tasyriq, yaitu pada tanggal 11,12 dan 13 di bulan Dzul Hijjah,
karena pada hari-hari tersebut merupakan hari makan-makan dan minum serta
dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala; namun bagi
orang yang tidak mampu membayar hadyu (menyembelih seekor domba)
melakukan puasa di Mina pada hari-hari itu.
Penetapan Masuknya Bulan Suci Ramadhan
9. Masuknya bulan Ramdhan itu dapat dipastikan dengan melihat terbitnya
bulan, atau dengan menggenapkan bulan Sya`ban menjadi 30 hari. Maka wajib
berpuasa bagi setiap orang yang telah melihat bulan sabit Ramadhan atau
sampai berita kepadanya dari seseorang yang dipercaya tentang masuknya
bulan Ramadhan.
Adapun bersandarkan kepada hisab di dalam menen-tukan bulan suci
Ramadhan, maka itu adalah bid`ah, karena hadits Nabi ? telah menegaskan
masalahnya:
“Berpuasalah kamu bila melihatnya dan berhari raya lah bila melihatnya.”
Maka apabila ada seorang muslim berakal yang dapat dipercaya dengan
keamanahan dan kejujurannya yang memberitakan bahwa ia telah melihat
bulan hilal Ramadhan dengan mata kepalanya, maka beritanya dapat dijadikan
pegangan.
Siapa Yang Wajib Berpuasa
10. Puasa itu diwajibkan atas setiap muslim yang aqil baligh, muqim lagi
mampu serta selamat dari penghalang, seperti haidh dan nifas.
Tanda baligh itu dapat diketahui dengan salah satu dari tiga cirinya, yaitu
keluar mani (sperma atau ovum) karena mimpi atau lainnya, tumbuhnya rambut
pada seputar kemaluan dan berumur genap 15 tahun. Ada tanda keempat, yaitu
bagi wanita adalah haidh (menstruasi). Maka wanita yang sudah haidh wajib
berpuasa sekalipun di bawah umur 10 tahun.
11. Anak-anak dianjurkan berpuasa bila sudah mencapai usia 7 tahun bila
memungkinkan (mampu); dan sebagian ulama menyebutkan bahwa apabila
sudah mencapai usia 10 tahun lalu tidak berpuasa, maka anak itu dipukul,
sebagaimana membiasakannya shalat.(35) Dan anak yang berpuasa tetap
mendapat pahala, begitu pula kedua orang tuanya mendapat pahala pendidikan
dan pengarahan yang mereka berikan kepada anaknya. Ar-Rubayyi` binti
Mua`awwidz x, menuturkan tentang puasa Asyura' di kala puasa itu diwajibkan:
“Kami membiasakan anak-anak kami berpuasa dan kami berikan kepada
mereka mainan dari kapas; dan apabila salah seorang di antara mereka yang
menangis karena minta makan, maka kami beri mereka kapas mainan itu
hingga sampai waktu berbuka.”(36)
Sebagian orang ada yang lalai di dalam membiasakan putra-putrinya
berpuasa, sampai ada di antara anak yang bersemangat untuk berpuasa dan
mampu melakukannnya, namun karena bapak dan ibunya berdalih sayang dan
kasihan, mereka suruh anaknya berbuka (tidak berpuasa). Mereka tidak
mengerti bahwa rasa kasihan yang sebenarnya itu adalah dengan membiasakan
anak berpuasa. Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala ? berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari
api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah
Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).
Dan seharusnya puasa putri kita pada awal masa balighnya mendapat
perhatian kita, karena boleh jadi ia berpuasa di saat haidh karena malu, lalu
nanti ia tidak meng-qadha' (mengganti)nya.
12. Apabila seorang kafir masuk Islam atau seorang anak menjadi baligh,
atau orang yang gila sadar kembali di siang hari Ramadhan, maka ia wajib
menahan diri (dari makan dan minum) sepanjang sisa hari itu, karena mereka
telah menjadi orang-orang yang berkewajiban melakukan puasa, dan mereka
tidak berkewajiban untuk mengganti hari-hari sebelumnya, karena pada
hari-hari sebelumnya itu mereka belum menjadi orang yang kewajiban
berpuasa.
13. Orang yang gila (hilang akal) itu tidak kena beban taklif. Dan jika
seseorang kadang-kadang gila (hilang akalnya) dan kadang-kadang ia sadar,
maka ia wajib berpuasa di waktu sadarnya saja. Dan jika ia gila di siang harinya,
maka puasanya tidak batal, sebagaimana jika seseorang pingsan karena sakit
atau lainnya juga tidak batal), karena ia telah berniat puasa di saat ia sadar
(berakal) (37); dan demikian pula hukumnya orang yang berpenyakit ayan.
14. Barangsiapa meninggal dunia di tengah-tengah bulan Ramadhan, maka ia
beserta para walinya tidak mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan hari
puasanya.
15. Barangsiapa yang tidak mengetahui (karena bodoh) kewajiban puasa
Ramadhan, atau tidak tahu bahwa makan atau bersetubuh di siang Ramadhan
itu haram, maka menurut jumhur ulama, ia dimaklumi (dima`afkan) karena
yang serupa dengannya juga dimaklumi, seperti orang yang baru masuk Islam,
orang muslim yang berada di negeri perang dan seperti orang yang hidup di
tengah-tengah orang kafir. Adapun seorang muslim yang hidup di
tengah-tengah kaum muslimin dan tidak ada kesulitan baginya untuk bertanya
dan belajar, maka orang itu tidak dimaklumi.
Musafir
16. Untuk dibolehkannya berbuka (tidak puasa) di dalam bepergian (safar)
disyaratkan sebagai berikut: Safar harus memenuhi jarak atau kebiasaan
perjalan jauh (sesuai perselisihan para ulama di dalam pembatasannya), safar
harus melampaui negerinya dan pinggirannya(38), safar harus bukan untuk
tujuan kemaksiatan (sebagaimana pendapat jumhur ulama), dan safar tidak
boleh dimaksudkan untuk mencari alasan supaya boleh berbuka (tidak puasa).
17. Boleh berbuka (tidak puasa) bagi musafir sebagaimana disepakati para
ulama, apakah ia mampu berpuasa ataupun tidak, apakah sulit baginya
berpuasa ataupun tidak, sampai sekalipun kepergiannya itu selalu ada di bawah
naungan (ruang AC, pent. ) dan banyak air serta disertai oleh seorang
pembantu, tetap diperbolehkan tidak berpuasa dan meng-qashar shalat.(39)
18. Barangsiapa sudah bertekad untuk bepergian di bulan Ramadhan,
maka ia tidak boleh berniat untuk berbuka sebelum ia melakukan safarnya,
karena boleh jadi rencana kepergiannya batal karena suatu aral.(40)
Seorang musafir tidak boleh membatalkan puasanya (berbuka) kecuali
setelah ia benar-benar keluar dan meninggalkan kampungnya, lalu apabila ia
telah terpisah dari bangunan-bangunan yang bersambung dengan kampungnya
maka boleh berbuka. Dan demikian pula bila pesawat telah take off (terbang)
dan melewati semua bangunan yang menyambung ke kota. Dan jika bandara itu
berada di luar kotanya, maka boleh ia berbuka di sana, tetapi jika bandara
tersebut di dalam kota atau bersambung dengan kota (di pinggir kota) maka ia
tidak boleh berbuka, karena masih terhitung di dalam kota (kampung halaman).
19. Apabila matahari telah terbenam (ketika si musafir) masih ada di darat ia
telah berbuka puasa, kemudian pesawat udara yang dikendarai take off
(berangkat) kemudian melihat matahari, maka ia tidak wajib imsak, karena ia
telah menyempunakan puasanya sehari penuh. Oleh karena itu, tidak ada
alasan untuk mengulangi ibadah yang telah ia lakukan. Namun jika pesawat
berangkat sebelum matahari terbenam, sedangkan ia berniat menyempurnakan
puasa hari itu di dalam perjalanannya, maka ia tidak boleh berbuka sebelum
matahari terbenam ketika ia sedang berada di angkasa, dan awak pesawat tidak
boleh merendahkan pesawatnya untuk tidak melihat matahari supaya boleh
berbuka (ifthar), karena perbuatan itu merupakan tindakan mencari-cari alasan.
Akan tetapi jika pesawat turun (meren-dahkan jarak dari daratan) karena
mashlahat penerbangan, lalu matahari tidak tampak, maka boleh berbuka.(41)
20. Barangsiapa (musafir) yang telah tiba di suatu negeri dan ia berniat untuk
tinggal di situ lebih dari empat hari, maka ia wajib berpuasa, sebagaimana
pendapat jumhur ulama. Maka orang yang bepergian jauh ke luar negeri untuk
studi di dalam beberapa bulan atau beberapa tahun, maka menurut Jumhur
Ulama, termasuk di dalamnya empat tokoh Madzhab berpendapat bahwa orang
itu sama statusnya dengan orang muqim (tinggal di sana) maka ia wajib
berpuasa dan shalat secara sempurna.
Apabila seorang musafir mampir di suatu negeri yang bukan negerinya,
maka ia tidak wajib imsak kecuali jika ia tinggal di situ lebih dari empat hari,
karena tinggal lebih dari empat hari sama hukumnya dengan orang-orang yang
muqim.(42)
21. Barangsiapa yang memulai puasanya di saat ia muqim, lalu ia berangkat
safar di siang harinya, boleh baginya berbuka, karena Alllah ? menjadikan safar
sebagai sebab diberlakukannya rukhshah (keringanan), sebagaimana
firman-Nya:
“Dan barangsiapa sakit atau di dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.
(Al-Baqarah: 185).
22. Boleh berbuka bagi orang yang kebiasaannya dalam perjalanan (safar)
bila ia mempunyai tempat (negeri) untuk tinggal, seperti tukang pos yang selalu
bepergian untuk maslahat dan kepentingan kaum muslimin (dan begitu pula
para awak bus antar kota, awak pesawat dan para pejabat lainnya, dan
sekalipun kepergian mereka itu adalah rutinitas harian, dan mereka wajib
meng-qadha'). Dan demikian pula para awak kapal laut yang mempunyai
tempat khusus di darat untuk peristirahatannya. Adapun orang yang istri dan
sarana prasarana bersamanya di kapal dan ia terus menjadi musafir, maka tidak
boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar.
Sedangkan orang-orang badui (nomaden) yang hidupnya selalu
berpindah-pindah dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya, mereka
boleh berbuka dan melakukan qashar. Namun apabila mereka telah berada di
tempat di mana mereka tinggal di musim panas atau di musim dingin itu, maka
tidak boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar sekalipun mereka selalu
menelusuri tempat-tempat gembalaannya.(43)
23. Apabila seorang musafir tiba dari perjalanannya di siang hari, maka wajib
imsak (tidak makan dan tidak minum), namun dalam masalah ini terjadi
perselisihan tajam di antara para ulama(44), dan yang lebih hati-hati adalah
melakukan imsak untuk menjaga kehormatan bulan suci Ramadhan, namun ia
tetap wajib mengqadha (mengganti puasanya) apakah dia melakukan imsak
ataupun tidak.
24. Apabila puasa telah dimulai di suatu negeri (tempat) lalu ia (musafir)
melakukan perjalanan (safar) ke suatu negeri lain yang penduduknya lebih
dahulu melakukan puasa daripada negerinya atau lebih belakangan, maka
hukum orang musafir itu ikut kepada hukum orang-orang di negeri itu (tempat
tujuan), maka ia tidak boleh berbuka kecuali jika penduduk negeri itu berbuka,
sekalipun ia harus puasa lebih dari 30 hari, karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi
wa Sallam ? bersabda:
“Puasa itu adalah pada hari kamu berpuasa dan ifthar itu adalah pada hari
kamu ifthar (berhari raya).”
Dan jika puasa si musafir itu kurang dari 29 hari maka ia wajib
menyempurnakannya setelah hari Lebaran hingga menjadi 29 hari, karena satu
bulan Hijriyah itu tidak kurang dari 29 hari.(45)
Orang Yang Sakit
25. Setiap penyakit yang melampaui batas kesehatan seseorang, maka orang
itu boleh berbuka. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
Subhanahu wa Ta'ala ?:
“Dan barangsiapa sakit atau sedang di dalam perjalanan (lalu berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya.(Al-Baqarah: 185)
Adapun sakit ringan, seperti batuk, pusing dan yang serupa tidak boleh
berbuka karenanya.
Kalau menurut kedokteran, atau menurut kebiasaan dan pengalamannya
atau menurut perkiraannya bahwa puasa akan membuatnya sakit, menambah
parah penyakitnya, atau dapat menunda masa kesembuhannya, maka boleh
bagi si sakit berbuka, bahkan makruh hukumnya ia berpuasa. Apabila penyakit
yang dideritanya sudah kronis, maka si penderita tidak wajib berniat di malam
hari untuk berpuasa sekalipun ada kemungkinan besok harinya ia akan sembuh,
karena yang menjadi pegangan adalah kondisi sekarang.
26. Jika puasa dapat menyebabkan seseorang pingsang maka ia berbuka dan
harus menggantinya.(46) Dan kalau sedang berpuasa ia pingsan di siang hari,
lalu sadar sebelum matahari terbenam, maka puasanya sah selagi di pagi
harinya ia dalam keadaan puasa. Kalau pingsan itu terjadi sebelum fajar Shubuh
hingga matahari terbenam, maka menurut Jumhur Ulama, puasanya tidak sah.
Adapun mengqadha puasa bagi orang yang pingsan itu wajib hukumnya,
menurut Jumhur Ulama sekalipun masa pingsannya itu lama (berhari-hari).(47)
Sebagian ulama ada yang menfatwakan bahwa orang yang pingsan atau hilang
akal sekejap, atau mengkonsumsi obat penenang untuk suatu maslahat hingga
hilang rasa sadarnya, jika hal itu terjadi kurang dari tiga hari, maka ia wajib
mengganti puasanya, karena dikiaskan kepada orang yang ketiduran, dan jika
lebih dari tiga hari, maka ia tidak wajib menggantinya karena dikiaskan dengan
orang yang gila.(48)
27. Barangsiapa yang tak berdaya kelaparan atau kehausan (karena
berpuasa) hingga dikhawatirkan akan membahayakan dirinya atau
menghilangkan sebagian indra-nya, maka boleh berbuka tetapi wajib
mengqadha' (menggantinya), karena menjaga keselamatan jiwa itu wajib. Dan
tidak boleh berbuka kalau hanya sekedar rasa lapar dan haus yang dapat
ditahan atau letih atau adanya dugaan akan rasa sakit. Dan begitu pula orang
yang bekerja berat tidak boleh berbuka, mereka wajib berniat di malam hari
untuk berpuasa; dan jika pekerjaan ditinggalkan akan menyebab-kan
kemadaratan bagi mereka dan ada rasa kekhawatiran terhadap diri mereka di
siang hari atau akan terjadi kesulitan besar hingga mengharuskan mereka
berbuka, maka mereka boleh berbuka sekedarnya, lalu imsak (menahan diri)
hingga matahari terbenam, dan nanti mereka harus menggantinya (qadha').
Dan bagi para pekerja berat seperti para penambang atau lainnya apabila
mereka tidak mampu menanggung beban puasa hendaknya berupaya
melakukan pekerjaannya di malam hari, atau mengambil cuti di bulan
Ramadhan sekalipun tanpa gaji. Dan jika tidak memung-kinkan cuti, maka
hendaknya mencari pekerjaan lain yang memungkinkan baginya untuk dapat
mengerjakan dua kewajiban duniawi dan ukhrawi; dan barangsiapa yang
bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala niscaya Allah
Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala memberikannya jalan keluar dan
memberinya rizki dari arah yang tiada diduga.(49)
Musim ujian bagi para siswa itu tidak dapat dijadikan alasan untuk berbuka
puasa di bulan Ramadhan, dan tidak boleh menuruti perintah kedua orang tua
supaya berbuka karena ujian, sebab kita tidak boleh ta`at kepada siapapun di
dalam kedurhakaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala
?.(50)
28. Orang sakit yang masih diharapkan bisa sembuh, maka hendaknya ia
menunggu kesembuhannya lalu mengganti puasanya, ia tidak boleh membayar
fidyah (memberi makanan). Dan orang yang menderita sakit menahun yang
tidak dapat diharapkan kesembuhannya dan begitu pula seorang lansia yang
sudah lemah cukup memberikan makanan setiap hari kepada seorang fakir
miskin (selama bulan puasa) berupa makanan pokok sebanyak ½ sha' (kurang
lebih 1,5 kg beras). Dan fidyah tersebut boleh dibayar satu kali pada akhir bulan
Ramadhan diberikan kepada beberapa orang miskin, dan boleh pula diberikan
kepada seorang miskin pada tiap hari. Fidyah itu wajib dilaksanakan berupa
makanan karena ada nash Al-Qur'annya, dan tidak boleh diberikan kepada si
miskin berupa uang(51). Dan boleh diwakilkan pembelian makanan dan
penyerahannya kepada orang yang dapat dipercaya atau lembaga sosial
terpercaya.
Orang sakit yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan dan
menunggu kesembuhannya supaya dapat mengganti puasanya, lalu ternyata
penyakitnya menahun, maka ia wajib memberi makan seorang fakir miskin
setiap hari ia meninggalkan puasa.(52) Dan orang yang menunggu kesembuhan
dari penyakit yang masih bisa diharap sembuh lalu meninggal dunia, maka ia
tidak mempunyai kewajiban apa-apa dan begitu pula terhadap wali atau ahli
warisnya. Dan orang yang penyakitnya menahun lalu tidak berpuasa
(karenanya) dan telah membayar fidyah (memberi makan orang miskin),
kemudian dengan kemajuan kedokteran ia berobat dan berhasil sembuh dari
penyakit yang dideritanya, maka ia tidak wajib apa-apa, karena ia telah
melakukan kewajibannya pada waktunya.(53)
29. Barangsiapa sakit lalu sembuh dan mampu mengganti (mengqadha')
puasanya, namun ia belum mengggantinya hingga meninggal dunia, maka
diambil dari hartanya untuk diberikan kepada orang fakir miskin sebanyak
hari-hari puasa yang tidak ia kerjakan. Dan jika ada salah seorang dari kerabat
dekatnya (keluarganya) menggantikan puasanya, maka yang demikian itu sah
saja; karena ada hadits di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwasanya
Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? bersabda:
“Barangsiapa meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa,
maka dipuasakan oleh walinya.”(54)
Orang Lanjut Usia, Lemah dan Pikun
30. Wanita dan lelaki yang lanjut usia yang sudah tidak berdaya dan setiap
harinya makin bertambah lemah hingga meninggal dunia, keduanya tidak wajib
berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa selagi tidak mampu melakukannya.
Ibnu Abbas ? di dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
Subhanahu wa Ta'ala ?:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin”,
dengan mengatakan: Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus hukumnya), orang
yang dimaksud adalah lelaki dan perempuan yang lanjut usia yang tidak mampu
berpuasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap
hari.”(55)
Adapun orang tua yang sudah lupa ingatan dan pikun, maka ia tidak
berkewajiban apa-apa dan begitu pula keluarganya karena ia sudah bebas dari
beban kewajiban. Kalau kadang-kadang orang itu masih bisa ingat dan kadang
kadang lupa, maka ia wajib berpuasa di waktu masih ada ingatannya dan tidak
wajib di waktu hilang ingatannya.(56)
31. Barangsiapa berperang melawan musuh atau dikepung musuh di
kampungnya sedangkan puasa dapat melemahkan kekuatannya di dalam
pertempuran, maka ia boleh berbuka puasa sekalipun tanpa safar (perjalanan
jauh), dan demikian pula jikalau ia terpaksa harus berbuka sebelum
penyerangan, maka boleh berbuka. Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ?
telah bersabda kepada para shahabatnya sebelum peperangan dimulai:
”Sesungguhnya kalian besok pagi hari akan langsung berhadapan dengan
musuh dan berbuka itu lebih membuat kalian kuat, maka berbukalah.”(57)
32. Barangsiapa yang sebab pembatalan puasanya jelas seperti sakit, maka
tidak apa-apa ia berbuka secara terang-terangan, dan barangsiapa yang sebab
pembatalan puasanya tersembunyi seperti haidh, maka sebaiknya ia berbuka
secara sembunyi-sembunyi agar terhindar dari tuduhan.
Niat di Dalam Berpuasa
33. Di dalam berpuasa fardhu disyaratkan adanya niat, dan demikian pula di
dalam setiap puasa wajib, seperti puasa qadha' (mengganti) dan puasa kaffarat,
karena hadits berbunyi:
“Tidak sah puasa orang yang tidak berniat di malam harinya.”(58)
Niat boleh dilakukan pada waktu kapan saja di malam hari, sekalipun
sesaat sebelum fajar. Niat adalah tekad dan hasrat hati untuk melakukan
pekerjaan, dan melafalkan (membaca lafal) niat itu bid`ah. Dan setiap orang
yang mengetahui bahwa besok hari adalah hari bulan Ramadhan dan ia
bermaksud akan berpuasa, maka ia berarti telah berniat.(59) Dan barangsiapa
yang berniat berbuka di siang hari namun tidak berbuka, maka menurut
pendapat yang kuat, puasanya tidak batal; hal ini seperti orang yang ingin
berbicara di saat shalat namun tidak melakukannya. Dan ada sebagian ulama
yang berpendapat bahwa puasanya batal sekalipun hanya dengan sekedar
memutus niatnya. Maka yang lebih hati-hati bagi orang yang melakukan
demikian adalah menggantinya di lain hari. Sedangkan riddah (murtad, keluar
dari agama) dapat membatalkan niat, tanpa diperselisihkan oleh ulama.
Orang yang puasa Ramadhan tidak perlu mem-perbaharui niatnya pada
setiap malam hari bulan Ramadhan, sudah cukup baginya niat di saat datangnya
bulan Ramadhan. Namun jika ia memutus niatnya dengan berbuka di dalam
perjalanan (safar) atau karena sakit maka (apabila ia akan berpuasa lagi) dan
uzurnya telah tiada, maka ia wajib memperbaharui niatnya.
34. Puasa sunnah mutlak tidak disyaratkan berniat di malam harinya, karena
ada hadits yang bersumber dari Aisyah d beliau menuturkan:
“Pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? datang
kepadaku lalu bertanya: “Apakah kamu mempunyai sesuatu (yang bisa
saya makan)?” Aisyah menjawab: Tidak. Maka Nabi bersabda: “Maka kalau
begitu aku berpuasa”(60)
Adapun puasa sunnah khusus seperti puasa hari Arafah dan puasa Asyura',
maka yang lebih berhati-hati adalah berniat di malam hari.
35. Dan siapa yang telah memulai berpuasa wajib, seperti puasa qadha'
(mengganti), puasa nadzar atau puasa kaffarat, maka ia wajib
menyempurnakan (menyelesaikan)-nya, ia tidak boleh membatalkannya tanpa
alasan yang dibenarkan. Sedangkan puasa sunnah boleh dilanjutkan dan juga
boleh dibatalkan(61) sekalipun tanpa alasan (uzur), karena Nabi ? pernah pada
suatu hari berpuasa sunnah, lalu kemudian beliau makan.(62) Namun apakah
orang yang membatalkan puasa sunnahnya itu mendapat pahala terhadap
puasa sepenggal yang telah dilakukannya? Sebagian ulama ada berpendapat
tidak mendapat pahala(63), dan yang afdhalnya bagi yang berpuasa sunnah
adalah menyem-purnakan puasanya kalau tidak ada kepentingan (maslahat)
syar`i yang mengharuskan ia memutus puasanya.
36. Orang yang tidak mengetahui bahwa bulan suci Ramadhan telah tiba
kecuali setelah fajar Shubuh terbit, maka ia wajib imsak (menahan dari yang
membatalkan) pada hari itu dan ia wajib menggantinya, sebagaimana pendapat
jumhur ulama; karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? telah
bersabda:
“Tidak sah puasa bagi orang yang tidak berniat puasa di malam
harinya.”(64)
37. Orang yang dipenjara dan orang yang ditahan, jika mengetahui masuknya
bulan Ramadhan apakah itu dengan kesaksian dirinya sendiri atau berita dari
seorang yang terpercaya, maka ia wajib berpuasa, dan jika tidak, maka ia harus
berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui datangnya bulan suci
Ramadhan dan melakukan puasa menurut dugaan kuatnya bahwa Ramadhan
telah tiba. Lalu jika setelah itu puasanya pas (bertepatan) dengan bulan suci
Ramadhan, maka puasanya sah, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dan jika
puasanya bertepatan dengan sesudah bulan Ramadhan, maka puasanya masih
tetap sah menurut pendapat jumhur ulama fiqh, namun jika puasanya
berte-patan dengan bulan sebelum Ramadhan, maka puasanya tidak sah dan ia
wajib mengganti hari puasa yang tidak bertepatan dengan hari bulan
Ramadhan. Dan kalau puasa si terpenjara itu sebagian harinya bertepatan
dengan hari-hari bulan Ramadhan dan sebagian lagi tidak, maka puasa yang
bertepatan dengan sebagian bulan Ramadhan dan yang sesudah bulan
Ramadhan itu sah, sedangkan yang bertepatan dengan hari-hari sebelum bulan
Ramadhan itu tidak sah. Dan jika keadaan terus tidak memungkinkannya untuk
dapat memastikan bulan Ramadhan, maka puasanya sah, karena ia telah
mencurahkan segala kemampuannya (untuk menge-tahui Ramadhan),
sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani
seorang jiwa pun kecuali menurut kadar kemampuannya.(65)
Ifthar (berbuka) dan Imsak (menahan diri)
38. Kalau matahari telah terbenam secara sempurna, maka orang yang
berpuasa boleh berbuka, dan cahaya kemerah-merahan di ufuq barat yang
tersisa itu tidak menjadi penghalang untuk berbuka. Rasulullah Shallallaahu
Alaihi wa Sallam ? bersabda:
“Apabila malam telah tiba dari arah sana dan siang pergi dari arah sana,
maka orang yang berpuasa boleh berbuka.(66)
Dan sunnahnya adalah segera berbuka. Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa
Sallam ? biasanya tidak shalat Maghrib sehingga berbuka terlebih dahulu
sekalipun hanya dengan menelan seteguk air(67). Kalau orang yang akan
berbuka tidak mendapatkan sesuatu untuk ifthar (membatalkan), maka cukup
dengan berniat ifthar di dalam hatinya, tidak mengecup jari sebagaimana
dilakukan oleh sebagian orang awam. Dan hendaknya selalu waspada agar tidak
berbuka sebelum waktunya, karena Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? di
dalam mimpinya pernah melihat seke-lompok kaum yang digantung terbalik
(kepala di bawah) dan pada setiap sudut mulut mereka bercucuran darah. Maka
tatkala beliau bertanya tentang mereka, diberitakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang berbuka sebelum waktunya”(68). Maka barangsiapa yang
meyakini atau menurut dugaan kuatnya atau ragu-ragu bahwa ia telah berbuka
sebelum waktu Maghrib tiba, maka ia wajib mengqadha' (mengganti) puasanya,
karena “ukurannya adalah utuhnya siang”(69). Maka dari itu, hendaknya
waspada terhadap berpegang kepada berita anak kecil dan sumber-sumber
yang kurang dapat dipercaya; dan demikian pula hendaknya memperhatikan
perbedaan waktu antara satu kota (daerah) dengan kota lainnya di saat
mendengar suara adzan lewat radio atau televisi ataupun lainnya.
39. Kalau fajar Shubuh telah terbit –yaitu cahaya putih di ufuk timur– maka
pada saat itu pula setiap orang yang berpuasa wajib imsak (menahan dari yang
membatalkan), apakah ia mendengar suara adzan ataupun tidak. Dan jika
diketahui bahwa adzan dikumandangakan pada saat terbitnya fajar Shubuh,
maka wajib imsak pada saat itu. Adapun kalau adzan dikumandangkan sebelum
fajar terbit, maka tidak wajib imsak (menahan) dari makan dan minum. Dan
kalau ia tidak mengetahui kondisi adzan atau terjadi perbedaan waktu beberapa
suara adzan, sedangkan ia tidak dapat membedakan apakah fajar Shubuh telah
tiba –seperti terjadi di kota-kota besar- karena cahaya lampu atau
bangunan-bangunan pencakar langit, maka hendaknya ia bersikap hati-hati dan
berpegang pada waktu yang ada di kalender yang ditetapkan dengan hisab,
selagi ia tidak ada kekeliruannya.
Adapun bersikap hati-hati hingga melakukan imsak di waktu tertentu,
seperti 10 menit sebelum fajar, maka hal ini adalah salah satu bentuk bid`ah.
Dan yang kita lihat pada sebagian kalender ada kolom khusus untuk waktu
imsak dan kolom lain untuk waktu fajar adalah merupakan perkara yang
bertentangan dengan syari`ah.
40. Dan negeri yang perbedaan malam dan siangnya panjang, maka kaum
muslimin wajib berpuasa sekalipun siangnya lebih panjang, selagi mereka masih
dapat membedakan antara malam dan siang. Dan untuk sebagian daerah yang
tidak mungkin dapat membedakan antara siang dan malam, maka mereka
berpuasa dengan mengikuti waktu daerah terdekat yang dapat mengetahui
malam dan siang.
Hal-hal yang Membatalkan
41. Semua hal yang membatalkan puasa selain haidh dan nifas tidak
menjadikan puasa seseorang batal kecuali ada tiga syarat, yaitu: Orang itu
mengerti bukan orang jahil, ingat dan tidak lupa, pilihannya sendiri bukan
karena terpaksa atau dipaksa.
Di antara hal-hal yang membatalkan puasa itu ada semacam pengeluaran,
seperti jima' (persetubuhan), sengaja memuntahkan, haidh dan berbekam; dan
ada pula semacam pengisian perut, seperti makan dan minum(70).
42. Di antara hal-hal yang membatalkan juga ada yang semacam (searti
dengan) makan dan minum, seperti obat-obatan, pil yang ditelan lewat
tenggorokan atau diinfus, dan demikian pula transfusi darah.
Adapun suntikan yang bukan sebagai pengganti makanan atau minuman,
akan tetapi hanya untuk pengo-batan, seperti suntikan panisilin, insulin, atau
seperti suntikan untuk tambah gairah tubuh, atau suntikan imunisasi, maka hal
tersebut tidak membatalkan puasa, apakah itu disuntikan lewat otot atau urat
nadi. Namun sebaiknya hal itu dilakukan di malam hari sebagai sikap
hati-hati.(71) Dan cuci darah yang mengharuskan dikeluarkannya darah secara
keseluruhan untuk dibersihkan kemudian dikembalikan lagi dengan ditambah
bahan kimia dan suplemen, seperti zat gula, garam atau lainnya , maka hal ini
tidak dianggap membatalkan.(72) Pendapat yang kuat adalah bahwa injeksi bius,
obat tetesan mata dan telinga, cabut gigi dan pengobatan luka-luka, semua itu
tidak membatalkan.(73) Gas oksigen juga tidak membatalkan, karena gas
tersebut dialirkan ke paru-paru tidak merupakan makan dan selalu diperlukan di
dalam dan di luar (waktu) puasa. Dan pengambilan darah untuk kepentingan
pemeriksaan juga tidak membatalkan, bahkan dima`fu, karena merupakan hal
yang dibutuhkan.(74) Dan obat kumur juga tidak mem-batalkan selagi tidak
ditelan. Dan orang yang memasukkan sesuatu ke lobang giginya, lalu rasa
benda itu ada di tenggorokan maka hal itu tidak merusak puasanya.(75)
Semua Hal-hal Berikut Ini Tidak Membatalkan Puasa
1. Mencuci telinga, atau memasukkan tetesan ke dalam hidung, atau oksigen
yang dimasukkan melalui hidung apabila bagian yang masuk tenggorokan
tidak ditelan.
2. Pil-pil pengobatan yang diletakkan di bawah lidah untuk pengobatan sariawan
atau lainnya juga tidak membatalkan puasa selagi dihindari masuknya ke
dalam tenggorokan.
3. Memasukkan alat perekam ke lobang vagina, atau jari untuk pemeriksaan.(76)
4. Memasukkan alat pelihat atau spiral atau yang serupa dengannya ke dalam
rahim.
5. Benda yang dimasukkan ke lobang air seni – maksudnya: pipa yang
dimasukkan ke lobang tempat aliran air seni pada zakar atau vagina, atau
benda yang dihubungkan dengan sinar atau obat, atau tempat untuk
membersihkan wadah air seni.
6. Melobangi gigi atau mencopot gigi geraham atau pembersihan gigi atau
bersiwak dan bersikat gigi asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam
tenggorokan.
7. Kumur-kumur dan oksigen buatan yang dilakukan di mulut asal dihindari
tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan.
8. Injeksi pengobatan di tubuh atau pada otot atau pembulu darah, selain imfus
pengganti makanan.
9. Gas oksigen.
10. Gas pembius yang tidak diberi bahan cair sebagai suplemen.
11. Benda-benda yang diserap kulit, seperti bahan cairan atau minyak angin
atau benda tempelan lainnya yang mengandung bahan medis atau kimia.
12. Memasukkan selang (pipa kecil) ke urat-urat untuk kepentingan
pemotretan atau pengobatan rongga jantung atau anggota badan lainnya.
13. Memasukkan alat untuk melihat yang dimasukkan ke bagian luar lambung
untuk pemeriksaan atau operasi medis.
14. Mengambil bintik atau bendul-bendul yang ada di dalam hati atau lainnya
selagi tidak dibarengi dengan bahan cairan suplemen.
15. Alat yang digunakan untuk melihat pencernaan bila dimasukkan tidak
dibarengi dengan bahan-bahan suple-men atau benda lainnya.
16. Masuknya alat atau benda medis ke otak atau sumsum.
Hendaknya seorang dokter muslim selalu memberi nasihat kepada pasien
untuk menunda hal-hal yang tersebut di atas yang tidak berbahaya atas
penundaannya sampai waktu berbuka tiba, karena hal yang demikian itu lebih
berhat-hati.(77)
43. Barangsiapa yang makan atau minum secara sengaja di siang Ramadhan
tanpa ada uzur, maka ia telah melakukan salah satu dosa besar; maka ia wajib
bertobat dan mengganti puasanya. Dan jika yang dimakan atau diminum itu
benda haram, seperti minuman keras, maka dosanya lebih besar dan keji lagi.
Maka ia wajib segera bertobat dengan sungguh-sungguh dan memperbanyak
melakukan amalan-amalan sunnah berupa puasa dan lainnya, agar ia dapat
menutup kewajiban yang dinodainya dan agar Allah Subhanahu wa Ta'ala
Subhanahu wa Ta'ala berkenan memberinya tobat atasnya.
44. “Barangsiapa lupa, lalu makan atau minum, maka hendaknya terus
berpuasa, karena sesungguhnya ia diberi makan atau minum oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala.”(78)
Di dalam riwayat lain disebutkan: ”Maka tidak wajib mengqadha' atau
membayar kaffarat baginya.”
Apabila anda melihat orang yang sedang berpuasa makan karena lupa,
maka hendaknya anda ingatkan, karena luasnya cakupan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala ?:
“Dan saling tolong menolonglah kamu di dalam kebajikan dan taqwa.”
Dan karena juga luasnya cakupan hadits Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa
Sallam ?:
“Apabila aku lupa, maka ingatkanlah aku”
Dan karena pada dasarnya hal tersebut adalah merupakan suatu
kemunkaran yang wajib diubah.(79)
45. Orang yang harus berbuka (membatalkan puasanya) karena harus
menyelamatkan seseorang dari kebinasaan, maka ia boleh berbuka dan nanti
harus menggantinya; sebagaimana seperti harus menyelamatkan orang yang
tenggelam dan memadamkan kebakaran.
46. Orang yang wajib berpuasa lalu melakukan hubungan suami istri
(senggama) dengan sengaja dan sadar (tidak terpaksa) di siang bulan
Ramadhan, maka ia telah membatalkan puasanya, apakah keluar sperma
ataupun tidak. Maka ia wajib segera bertobat dan menyempurnakan puasa hari
itu dan wajib pula menggantinya serta wajib membayar kaffarat yang sangat
berat. Di dalam hadits Abi Hurairah ? dituturkan: Ketika kami sedang duduk di
sisi Nabi ? seketika datang seorang lelaki, lalu berkata: Wahai Rasulullah
Shallallaahu Alaihi wa Sallam, celaka aku! Nabi bertanya: Kenapa? Ia
menjawab: Aku terlanjur melakukan jima` terhadap istriku padahal aku sedang
berpuasa. Maka Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? bersabda: Apakah
kamu punya hamba sahaya yang bisa kamu merdekakan? Ia jawab: Tidak. Lalu
Nabi bersabda: Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Lelaki
itu mejawab: Tidak. Nabi bersabda: Apakah kamu mampu memberikan makan
kepada 60 orang miskin? Orang itu menjawab: Tidak … (Al-Hadits).(80)
Demikianlah hukumnya, dan begitupula sama hukum-nya bagi orang
berbuat zina, homoseks dan menzinahi binatang. Dan barangsiapa yang
melakukan persetubuhan berulang kali di hari-hari Ramadhan, maka ia wajib
membayar kaffarat sebanyak hari pelanggarannya, ditambah dengan mengganti
puasa hari-hari itu, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak membayar kaffarat
sekalipun karena ketidak-mengertiannya terhadap kewajiban kaffarat.(81)
47. Jika seseorang ingin melakukan persetubuhan terhadap istrinya, lalu
terlebih dahulu ia membatalkan puasanya dengan makan, maka
kemaksiatannya lebih besar, karena ia telah menodai kehormatan bulan suci
Ramadhan dua kali, yaitu dengan makan dan persetubuhannya. Dan kaffaratnya
berat dan lebih pasti, dan cara tipu dayanya menjadi malapetaka bagi dirinya
dan ia wajib melakukan tobat yang sejati.(82)
48. Mencium, bercumbu, bersentuh tubuh dengan istri, berpelukan dan
memandang istri atau hamba sahayanya berulang-ulang itu boleh saja selagi
dapat mengendalikan nafsunya. Di dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Muslim
yang bersumber dari Aisyah d beliau menuturkan: “Bahwasanya Nabi ?
mencium (nya) di saat sedang berpuasa, dan bersentuhan tubuh di saat beliau
berpuasa pula, akan tetapi Nabi adalah orang yang sangat bisa mengendalikan
nafsunya.”
Adapun hadits yang berbunyi:
(Ia meninggalkan istrinya karena-Ku), maka yang dimaksud
(meninggalkan istrinya pada hadits itu) adalah melakukan jima`.
Akan tetapi jika birahi seseorang cepat bereaksi dan tidak dapat
mengendalikannya, maka hal di atas tidak boleh ia lakukan, karena dapat
menyebabkan puasanya batal dan ia tidak terjamin aman dari keluarnya sperma
atau terjerumus di dalam persetubuhan. Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu
wa Ta'ala ? telah berfirman di dalam hadits Qudsi: “Ia meninggalkan istrinya
demi Aku.” Dan kaidah Agama mengatakan: ”Setiap sarana yang dapat
mengantarkan kepada yang diharamkan, maka diharam-kan.”
49. Kalau seseorang melakukan persetubuhan lalu fajar terbit, maka ketika
itu wajib menanggalkannya, sedangkan puasanya sah sekalipun keluar sperma
setelah dzakarnya dicabut. Adapun kalau persetubuhan dilanjutkan sampai
setelah fajar terbit, maka puasanya batal, ia wajib bertobat, mengganti puasa
hari itu dan membayar kaffarat berat.
50. Kalau seseorang masuk ke waktu Shubuh dalam keadaan janabat (junub)
maka hal ini tidak merusak puasanya, dan bahkan boleh menunda mandi junub,
mandi haidh dan nifas hingga setelah fajar Shubuh terbit, namun ia wajib segera
mandi supaya dapat melakukan shalat Shubuh dan agar ia segera didekati oleh
para malaikat.
51. Kalau orang yang sedang berpuasa tidur di siang hari lalu bermimpi
hingga keluar sperma, maka puasanya tidak batal secara ijma', bahkan ia harus
menyempurnakan puasanya.
52. Barangsiapa yang melakukan pengeluaran mani di siang Ramadhan,
seperti dengan memainkan kemaluannya atau berulang-ulang memandang
lawan jenisnya, ia wajib bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu
wa Ta'ala dan melakukan imsak pada hari itu serta mengqadha' puasa hari itu di
kemudian hari. Dan jika ia mulai melakukan pengeluaran mani lalu berhenti dan
belum keluar maninya, maka ia wajib bertobat dan ia tidak wajib qadha' karena
mani belum keluar. Dan hendaknya setiap orang yang berpuasa menghindari
segala sesuatu yang dapat memancing bangkitnya syahwat dan berupaya
mengusir bisikan-bisikan jiwa yang jahat.
Adapun keluarnya madzi -sebagaimana pendapat yang kuat- tidak
membatalkan puasa. Keluarnya wadi -yaitu cairan bening kental seusai kencingtanpa
ada rasa nikmat juga tidak membatalkan puasa dan tidak mewajibkan
mandi, hanya saja wajib dicuci dan berwudhu'.(83)
53. “Barangsiapa yang muntah tidak sengaja, maka tidak wajib qadha', dan
barangsiapa yang muntah dengan disengaja, maka wajib mengqadha'.”(84)
Oleh karenanya, barangsiapa yang muntahnya disengaja dengan
mencolokkan jarinya ke dalam tenggo-rokannya atau sengaja menekan
perutnya atau sengaja mencium bau yang tidak sedap atau sengaja melihat
sesuatu yang dapat membuatnya muntah, maka ia wajib qadha'. Kalau setelah
mau muntah namun tidak jadi, maka puasanya tidak batal, karena tidak jadi
muntah itu bukan atas keinginannya, tetapi kalau ia yang menelannya kembali,
maka puasanya batal. Jika perutnya mual, maka ia tidak wajib menahan
muntah, karena hal tersebut dapat membahayakannya(85). Apabila seseorang
menelan sesuatu yang menempel di celah-celah giginya dengan tidak sengaja,
atau benda itu sangat kecil yang sulit untuk diketahui, maka itu termasuk air liur
dan tidak membatalkan. Tetapi kalau benda itu besar dan memungkinkan
baginya untuk diludahkan, maka batal puasanya bila ia telan dengan
sengaja.(86)
Karet, apabila bercampur sesuatu atau mempunyai rasa tambahan atau
manis, maka haram mengunyahnya, dan jika rasa manis tersebut sampai ke
tenggorokan maka dapat membatalkan.
Setelah air kumur dibuang dari mulut, maka basah atau lembab yang
tersisa di mulut itu tidak merusak puasa, karena hal seperti itu sulit dihindari.
Orang yang mimisan (hidung berdarah) puasanya tetap sah, karena
mimisan itu timbul bukan atas dasar kehendaknya(87). Kalau gusi bernanah atau
berdarah karena gosok gigi, maka darah tidak boleh ditelan dan harus
diludahkan. Namun jika sebagiannya tertelan tanpa disengaja dan bukan atas
kemauannya maka tidak apa-apa; dan demikian pula muntah yang kembali
masuk ke tenggorokan tanpa kemauan dirinya, puasanya tetap sah.(88)
Ingus, yaitu cairan kental yang keluar dari rongga hidung di kepala dan
dahak, yaitu cairan kental yang keluar dari dalam dada karena batuk atau
berdeham, jika ditelan sebelum sampai ke mulut maka tidak membatalkan
puasa, karena sulit dihindari; akan tetapi jika ditelan sesudah sampai di mulut
maka pada saat itu puasanya batal. Dan bila ingus atau dahak masuk secara
tidak sengaja (tertelan) maka tidak membatalkan.
Menghirup uap air, sebagaimana dilakukan oleh buruh (pekerja) di
tempat-tempat penyulingan air tidak membatalkan puasa.(89)
Dan makruh mencium aroma makanan tanpa keperluan mendesak, karena
hal itu dapat mengundang puasa menjadi batal. Termasuk keperluan mendesak
adalah mengunyah makanan untuk bayi, kalau hal itu terpaksa harus dilakukan
oleh sang ibu, dan mencicipi rasa makanan untuk diketahui sedap atau tidaknya.
Demikian pula jika di saat membeli sesuatu dengan terpaksa harus dicicipi.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata: “Tidak apa-apa mencicipi cuka
atau makanan yang hendak dibeli.”(90)
54. Bersiwak (gogok gigi dengan siwak) adalah sunnah dilakukan sepanjang
hari oleh orang yang sedang berpuasa, sekalipun siwaknya lembab. Kalau
seseorang yang sedang berpuasa bersiwak, lalu merasakan rasa pedas atau
rasa siwak selain itu, kemudian menelannya, atau ia ludahkan, sedangkan di
mulutnya masih ada ludah lalu menggo-sokkannya kembali dan menelan ludah
tersebut, maka tidak apa-apa.(91) Dan hendaknya ia menghindari dan tidak
menggunakan siwak yang telah dicampur zat lain, seperti siwak hijau; juga
menghindari siwak yang mempunyai rasa tambahan seperti rasa lemon dan
menthol. Dan hendaklah ia meludahkan serpihan siwak yang tercecer di mulut,
ia tidak boleh menelannya secara sengaja; dan jika tertelan secara tidak
sengaja maka puasanya tidak apa-apa.
55. Segala sesuatu yang menimpa orang yang sedang berpuasa, seperti luka,
mimisan atau tersedak air atau bensin ke dalam tenggorokan bukan atas
kesengajaan itu tidak merusak puasa. Dan demikian pula debu, asap dan lalat
yang masuk ke tenggorakan dengan tidak sengaja, juga tidak membatalkan.
Dan sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari, seperti air liur (ludah) tidak
membatalkan. Demikian halnya debu jalanan dan debu tepung.
Kalau seseorang mengumpulkan air liurnya di mulut lalu ia telan dengan
sengaja, maka puasanya juga tidak batal (menurut pendapat yang lebih
shahih).(92) Demikian pula air mata yang tertelan, atau berminyak rambut atau
mengubah warna rambut dengan hanna', (sejenis tanaman) yang kemudian
rasanya terasa di tenggorokan. Dan memakai hanna' pada anggota badan,
bercelak dan berminyak,(93) memakai hand and body lotion, mencium
wangi-wangian (parfum) dan menggunakannya serta gaharu dan lain-lainnya
tidaklah mengapa bagi orang yang puasa, asalkan tidak dimasukkan ke dalam
hidungnya.(94)
Sebaiknya tidak memakai pasta gigi di siang hari, karena pasta gigi
mempunyai sengatan yang amat kuat.(95)
56. Sebagai sikap waspada bagi orang yang puasa adalah untuk tidak
berbekam, karena perselisihan tentang masalah ini sangat tajam, sehingga Ibnu
Taimiyah cenderung kepada pendapat yang mengatakan batal puasa bagi orang
yang berbekam (dibekam).
57. Merokok juga termasuk yang membatalkan puasa, dan bukan alasan
untuk meninggalkan puasa karena merokok. Sebab bagaimana akan dimaklumi
orang yang melakukan kemaksiatan?!
58. Menyelam di dalam air atau berselimutkan pakaian basah untuk
mendinginkan badan tidak apa-apa dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa.
Dan tidak mengapa pula menyiramkan air di kepalanya karena kepanasan atau
kehausan(96), namun makruh hukumnya berenang, karena dapat menyebabkan
puasanya batal.
Dan orang yang pekerjaannya menyelam atau pekerjaannya menuntutnya
menyelam, selagi ia aman dari masuknya air ke dalam tenggorokannya, maka
tidak mengapa.
59. Kalau seseorang makan atau minum atau melakukan persetubuhan
dengan dugaan masih malam (fajar Shubuh belum terbit. pent), namun
kemudian ternyata fajar telah terbit, maka tidak mengapa baginya, karena ayat
Al-Qur'an membolehkan perbuatan tersebut hingga ada kejelasan. Abdurrazaq
telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Abbas
? bahwasanya beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala
menghalalkan makan dan minum bagimu selagi kamu masih ragu.”(97)
60. Kalau seseorang berbuka dengan dugaan bahwa matahari telah
terbenam, padahal belum, maka ia wajib mengganti puasanya (menurut jumhur
ulama); karena hukum dasarnya adalah masih tetapnya siang; dan keyakinan
itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Namun Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa “ia tidak wajib mengganti (mengqadha').
61. Kalau fajar telah terbit, sedangkan di mulutnya ada makanan atau
minuman, maka para ahli Fiqih sepakat bahwa orang itu harus meludahkannya
dan puasanya sah. Dan begitu pula hukum orang yang makan atau minum
karena lupa, lalu sadar dan di mulutnya ada makanan dan minuman, maka
puasanya sah asalkan meludahkan apa yang ada di dalam mulutnya.
Beberapa Hukum Puasa bagi Wanita
62. Anak perempuan baru baligh (haidh), kemudian karena malu ia tidak
berpuasa, maka ia wajib bertobat besar dan mengganti puasa yang
ditinggalkannya dan sekaligus memberi makan seorang miskin setiap hari puasa
yang ditinggalkannya sebagai kaffarat atas puasa yang ditinggal-kannya apabila
hingga datang bulan Ramadhan berikutnya ia masih belum mengqadha'. Anak
tersebut hukumnya seperti wanita yang berpuasa pada hari-hari haidhnya
karena malu dan tidak mengqadha'. Lalu jika anak tersebut tidak tahu secara
pasti beberapa hari puasa yang ia tinggalkan, maka ia berpuasa hingga merasa
yakin bahwa ia telah mengganti semua hari-hari yang ia tinggalkan di masa
haidhnya dan belum menggantinya hingga beberapa kali Ramadhan, disertai
dengan membayar kaffarat atas penangguhannya sebanyak hari puasanya,
apakah sekaligus atau bertahap menurut kemampuannya.
63. Seorang istri hendaknya tidak melakukan puasa (selain puasa Ramadhan)
bilamana suaminya hadir (berada di sisinya) kecuali seizinnya. Dan apabila
suami bepergian jauh, maka tidak apa-apa istri berpuasa sunnah.
64. Wanita haidh, apabila telah melihat cairan kental putih -yaitu cairan yang
keluar dari rahim setelah masa haidh selesai- yang diketahui oleh setiap wanita
sebagai tanda haidh sudah bersih, maka ia berniat puasa semenjak di malam
hari. Jika wanita belum bisa mengenal tanda kesuciannya, maka hendaknya ia
mencolekkan kapas atau semisalnya pada vaginanya, maka jika kapas itu
bersih, berarti ia telah suci dan harus berpuasa; kemudian, apabila darah haid
berulang lagi, maka ia berbuka, sekalipun keluar hanya sedikit atau berupa
warna keruh, karena hal itu membatalkan puasa selagi keluarnya masih pada
hari atau masa haidh.(98) Dan kalau terhentinya darah haidh itu terus berlanjut
hingga matahari terbenam sedangkan ia telah berniat puasa di malam harinya,
maka puasanya sah. Dan Wanita yang merasakan ada darah keluar, namun
tidak keluar kecuali sesudah matahari terbenam, maka puasanya sah untuk hari
itu.
Wanita haidh atau nifas yang darahnya berhenti (suci) di malam hari
Ramadhan, lalu ia berniat puasa, kemudian fajar terbit sebelum ia mandi, maka
menurut seluruh ulama sah puasanya.(99)
65. Wanita yang telah mengetahui kebiasaan waktu datang haidhnya di esok
hari, maka ia tetap berpuasa dan tidak boleh membatalkan sebelum melihat
adanya darah.
66. Yang afdhal bagi wanita haidh adalah membiarkan kebiasaan haidhnya
dan rela terhadap ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala
terhadap dirinya, tidak melakukan sesuatu untuk –mencegah haidhnya, dan
selayaknya ia berbuka di masa haidhnya serta mengqadha' (mengganti)
puasanya sesudah itu. Demikianlah yang dilakukan oleh istri-istri Rasulullah
Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? dan istri-istri para generasi salaf.(100) Lebih-lebih
telah diketahui secara medis bahaya mencegah haidh tersebut, sehingga banyak
wanita yang terkena musibah tidak teraturnya masa haidh karenanya. Namun
jika ia melakukannya dan minum obat untuk menunda masa haidhnya hingga ia
tetap dalam keadaan bersih lagi suci dan berpuasa, maka puasanya sah.
67. Darah istihadhah (pendarahan pada rahim) tidak mempengaruhi sahnya
puasa.
68. Apabila seorang wanita hamil menggugurkan janin yang telah berbentuk
manusia atau sudah mulai berbentuk, seperti sudah berkepala atau sudah ada
tangannya, maka darahnya adalah darah nifas. Tetapi apabila janin itu masih
berupa gumpalan darah atau daging dan belum berbentuk manusia maka
darahnya adalah darah istihadhah (penyakit pendarahan) dan ia wajib berpuasa
bila mampu, dan jika bila tidak, maka boleh berbuka tetapi wajib qadha'.(101)
Dan demikian pula wajib berpuasa jika ia telah bersih (suci) melalui proses
pembersihan. Para ulama telah menyebutkan bahwa janin itu berbentuk
menjadi manusia setelah mencapai masa hamil 80 hari.
Apabila wanita nifas telah bersih (suci) sebelum 40 hari maka wajib
berpuasa, mandi dan shalat.(102) Tetapi jika darah kembali keluar sebelum 40
hari itu, maka jangan berpuasa, karena masih terhitung darah nifas. Dan jika
darah keluar sampai lebih dari 40 hari, maka ia harus berniat puasa dan mandi
(menurut Jumhur ulama) dan darah yang keluar diluar batas 40 hari itu
termasuk darah penyakit (istihadhah), kecuali bertepatan dengan kebiasaan
waktu haidhnya, maka darah itu berarti darah haidh.
Wanita menyusui apabila telah berpuasa di siang harinya lalu ia melihat
tetesan darah di malam harinya, padahal sebelumnya dia adalah bersih (suci),
maka puasanya sah.(103)
69. Yang kuat adalah bahwa wanita hamil dan menyusui itu dikiaskan kepada
orang sakit; ia boleh berbuka (tidak puasa) dan kewajibannya hanyalah qadha'
(mengganti puasanya), sama saja apakah tidak puasa karena khawatir terhadap
dirinya atau terhadap anaknya. Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ? telah
bersabda: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala
telah memberikan keringa-nan puasa dan separuh shalat bagi musafir, dan
puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui.(104) Apabila wanita hamil
berpuasa sedangkan darah keluar darinya, maka puasanya tetap sah dan hal itu
tidak mempengaruhi terhadap keabsahan puasanya.(105)
70. Apabila seorang istri sedang berpuasa disetubuhi oleh suaminya di siang
hari atas dasar keridhaannya, maka hukumnya sama dengan suaminya. Adapun
kalau ia dipaksa, maka istri wajib menolak ajakannya dengan serius, dan ia
tidak wajib membayar kaffarat (bila dipaksa). Ibnu Uqail rahimahullah berkata
tentang suami yang menyetubuhi istrinya di siang Ramadhan, sedangkan istri
sedang tidur, seraya berkata: ”Istri tidak wajib membayar kaffarat. Namun
sebagai sikap hati-hati, sebaiknya istri mengganti (qadha') puasa hari itu di lain
hari nanti.(106)
Hendaknya seorang istri yang mengetahui bahwa suaminya tidak dapat
menahan nafsunya berupaya meng-hindar darinya dan tidak berdandan di siang
Ramadhan. Dan istri wajib mengganti puasa bulan Ramadan sekalipun tanpa
sepengetahuan sang suami, dan tidak disyaratkan adanya izin dari suami untuk
melakukan puasa wajib. Dan apabila seorang wanita telah memulai melakukan
qadha' terhadap puasanya, maka ia tidak boleh membatalkannya tanpa ada
uzur syar`i, dan sang suami tidak boleh menyuruhnya berbuka di saat istri
sedang mengqadha', dan juga tidak ada hak baginya untuk menyetubuhi
istrinya di saat mengganti puasa dan sebagaimana tidak ada hak bagi istri untuk
memberikannya.(107)
Adapun puasa sunnah, maka seorang istri tidak boleh melakukannya bila
sang suami ada di sisinya, kecuali seizin darinya. Hadits yang bersumber dari
Abu Hurairah ? menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam ?
bersabda: “Wanita tidak boleh melakukan puasa sedangkan suaminya ada di
sisinya, kecuali seizin darinya.”(108)
Inilah yang dapat penulis sebutkan tentang beberapa masalah puasa;
penulis memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa Ta'ala ?
semoga Dia tetap menolong kita untuk selalu ingat, bersyukur kepada-Nya dan
dapat beribadah kepadanya dengan sebaik-baiknya; dan semoga Dia menutup
bulan suci Ramadhan dengan ampunan-Nya kepada kita semua dan dibebaskan
dari neraka.
End Note
(1) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 1/49.
(2) Shahihut Targhib, 1/420
(3) Majmu' Al-Fatawa, 25/265.
(4) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1904.
(5) Diriwayatkan oleh An-Nasa'i, 4/165, disebutkan dalam Shahihut Targhib,
1/413.
(6) Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, 3/345, disebutkan dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah, 1797.
(7) Diriwayatkan oleh Muslim, 2/807.
(8) Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/174. Isnadnya dihasankan oleh Al-Baihaqi;
Al-Majma', 2/181, disebutkan dalam Shahihut Targhib, 1/411.
(9) Diriwayatkan oleh Muslim, 2/807.
(10) Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/402, disebutkan dalam Shahihut Targhib,
1/411.
(11) Diriwayatkan oleh Muslim, 2/808.
(12) Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/391, disebutkan dalam Shahihut Targhib,
1/412.
(13) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1797.
(14) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 3277.
(15) Lihat Musnad Ahmad, 5/280, dan Shahihut Targhib, 1/421.
(16) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 37.
(17) Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/256, disebutkan dalam Shahihut Targhib,
1/419.
(18) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/139.
(19) Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2345, disebutkan dalam Shahihut
Targhib, 1/448.
(20) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/198.
(21) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/79 dan lainnya, ia mengatakan: Hadits
hasan gharib. Ia men-shahih-kannya dalam Al-Irwa' dengan no. 922.
(22) Diriwayatkan oleh Abu Daud, 2/765. Isnadnya dihasankan oleh
Ad-Daruquthni, 2/185.
(23) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1904.
(24) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1903.
(25) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 1/539, disebutkan dalam Shahihut Targhib,
1/453.
(26) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1894.
(27) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no. 2380, ia mengatakan: Hadits hasan
shahih.
(28) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 6.
(29) Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/343 dan Ibnu Majah no. 2137. Dalam
komentarnya Al-Albani mengatakan: Isnadnya hasan li ghairihi.
(30) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 3/171, disebutkan dalam Shahihut Targhib,
1/451.
(31) Al-Ikhtibarat Al-Fiqhiyyah, h. 109.
(32) Diriwayatkan oleh An-Nasa'i, 4/129, disebutkan dalam Shahihut Targhib,
1/490.
(33) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1985.
(34) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/111 dan dihasankan.
(35) Lihat Al-Mughni, 3/90.
(36) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1960.
(37) Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 28.
(38) Jumhur ulama melarang berbuka sebelum meninggalkan negeri, mereka
mengatakan: “Safar (perjalanan) itu belum terjadi, saat itu dianggap masih
muqim dan ada di tempatnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala Subhanahu wa
Ta'ala telah berfirman, artinya (Barangsiapa di antara kamu yang
menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa). Orang yang demikian
tidak termasuk musafir sampai ia keluar dari negerinya. Adapun ketika
semasih di dalam negerinya, maka baginya berlaku hukum hadhir (tidak
musafir). Dan oleh karena itu pula ia tidak boleh mengqashar shalat.
(39) Majmu' Al-Fatawa, 25/210.
(40) Tafsir Al-Qurthubi, 2/210.
(41) Dari fatwanya Syaikh bin Baz secara lisan.
(42) Lihat Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh bin Baz, h. 977.
(43) Lihat Majmu' Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 25/213.
(44) Majmu' Al-Fatawa, 25/212.
(45) Dari fatwanya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Ash-Shiyam, diterbitkan
oleh Darul Wathan, h. 15-16.
(46) Al-Fatawa, 25/217.
(47) Al-Mughni ma'a Ash-Syarh Al-Kabir, 1/412, 3/32 dan Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyah, 5/268.
(48) Dari fatwanya Syaikh bin Baz secara lisan.
(49) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/233, 235.
(50) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/241.
(51) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/198.
(52) Dari fatwanya Syaikh Ibnu Utsaimin.
(53) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/195.
(54) Dari fatwanya Al-Lajnah Ad-Da'imah, majalah Ad-Da'wah, 806.
(55) Al-Bukhari, kitab At-Tafsir, bab Ayyamam Ma'duudat.
(56) Lihat Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 28.
(57) Diriwayatkan oleh Muslim, 1120, terbitan Abdul Baqi. Ini merupakan
pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau
memberikan fatwa ini kepada penduduk Syam yang mana saat itu mereka
sedang berada di negeri mereka ketika datangnya bangsa Tatar.
(58) Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 2454. Riwayat ini dikuatkan oleh beberapa
imam, seperti Al-Bukhari, An-Nasa'i, At-Tirmidzi dan lain-lain. Talkhish
Al-Hubair, 2/188.
(59) Majmu' Al-Fatawa, 25/215.
(60) Diriwayatkan oleh Muslim, 2/809, terbitan Abdul Baqi.
(61) Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/342.
(62) Sebagaimana tersebut dalam Shahih Muslim dalam kisah Al-Hais al-ladzi
uhdiya ilaihi 'inda 'Aisyah, no. 1154, terbitan Abdul Baqi.
(63) Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah, 38/13.
(64) Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2454.
(65) Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah, 38/84.
(66) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1954, dan pembahasan ini ada
dalam Majmu' Al-Fatawa, 25/216.
(67) Diriwayatkan oleh Al-Hakim, 1/432, As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 2110.
(68) Haditsnya tersebut dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, no. 1986, dan dalam
Shahihut Targhib, 1/420.
(69) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/287.
(70) Majmu' Fatawa, 25/248.
(71) Fatawa Ibnu Ibrahim, 4/189.
(72) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/90.
(73) Majmu' Fatawa Syaikhul Islam, 25/233, 25/245.
(74) Fatawa Ad-Da'wah, Ibnu Baz, no. 979.
(75) Dari fatwanya Syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan.
(76) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/172.
(77) Qararat Majma' Al-Fiqh Al-Islami, h. 213.
(78) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1933.
(79) Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 70.
(80) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1936.
(81) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/321.
(82) Lihat Majmu' Al-Fatawa, 25/262.
(83) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/179.
(84) Hadits shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/89.
(85) Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 76.
(86) Al-Mughni, 4/47.
(87) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/264.
(88) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/254.
(89) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/276.
(90) Dihasankan dalam Irwa' Al-Ghalil, 4/86. Lihat Al-Fath pada syarh bab
ightisal ash-sha'im, dalam kitab Ash-Shiyam.
(91) Al-Fatawa Ash-Sa'diyah, 245.
(92) Al-Mughni, Ibnu Quddamah, 3/106.
(93) Lihat Majmu' Al-Fatawa, 25/233, 25/245.
(94) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/314.
(95) Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 72.
(96) Al-Mughni, 3/44.
(97) Fathul Bari, 4/135. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam
Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, 29/263.
(98) Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/154.
(99) Al-Fath, 4/148.
(100)Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/151.
(101)Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/224.
(102)Al-Mughni ma'a Asy-Syarh Al-Kabir, 1/360.
(103)Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/150.
(104)Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/85, ia mengatakan: Hadits hasan.
(105)Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/225.
(106)Syaikhul Islam rahimahullah berpendapat bahwa puasanya tidak rusak,
jadi itu tetap sah.
(107)Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 10/353.
(108)Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 4793.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting Lebih Baru
Posting Lama
Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar